Sabtu, 06 November 2010

askep muskuloskeletal

OSTEMIELITIS
1.      Pengertian
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomeilitis dapat menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas. Beberapa ahli memberikan defenisi terhadap osteomyelitis sebagai berkut :
*      Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus influensae (Depkes RI, 1995).
*      Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).
*      Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan oleh staphylococcus (Henderson, 1997)
*      Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus. Tetapi juga Haemophylus influenzae, streplococcus dan organisme lain dapat juga menyebabkannya osteomyelitis adalah infeksi lain.
2.      Etiologi
Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi ditempat di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah kemungkinan akibat trauma subklinis (tak jelas).
Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (mis. Ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis, fraktur ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang (mis. Fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak, pembedahan tulang.
Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya buruk, lansia, kegemukan atau penderita diabetes. Selain itu, pasien yang menderita artritis reumatoid, telah di rawat lama dirumah sakit, mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nekrosis insisi marginal atau dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.
3.      Klasifikasi
            Menurut kejadiannya osteomyelitis ada 2 yaitu :
o   Osteomyelitis Primer ? Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung melalui luka.
o   Osteomyelitis Sekunder  ? Adalah kuman-kuman mencapai tulang melalui aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya infeksi saluran nafas, genitourinaria furunkel).
            Sedangkan osteomyelitis menurut perlangsungannya dibedakan atas :
a.       Steomyelitis akut
-       Nyeri daerah lesi
-       Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regional
-       Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka
-       Pembengkakan lokal
-       Kemerahan
-       Suhu raba hangat
-       Gangguan fungsi
-       Lab = anemia, leukositosis
b.      Osteomyelitis kronis
-          Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri
-          Gejala-gejala umum tidak ada
-          Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur
-          Lab = LED meningkat           
            Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang paling sering :
-       Staphylococcus (orang dewasa)
-       Streplococcus (anak-anak)
-       Pneumococcus dan Gonococcus
4.      Patofisiologi
            Staphylococcus aurens merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada osteomielitis meliputi Proteus, Pseudomonas dan Ecerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.
            Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
            Respons inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan Vaskularisas dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada  pembuluh darah terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang sehubungan dengan peningkatan dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di sekitarnya, kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan terbentuk abses tulang.
            Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga abses pada umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.
5.      Manifestasi Klinis
            Jika infeksi dibawah oleh darah, biasanya awitannya mendadak, sering terjadi dengan manifestasi klinis septikemia (mis. Menggigil, demam tinggi, denyut nadi cepat dan malaise umum). Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi gejala lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul. Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah infeksi membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan. Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah dapat menjadi pada jaringan parut akibat kurangnya asupan darah.
6.      Evaluasi Diagnostik
            Pada osteomielitis akut, pemeriksaan sinar – x awal hanya menunjukkan pembengkakan jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nekrosis tulang baru. Pemindaian tulang dan MRI dapat membantu diagnosis definitif awal. Pemeriksaan darah memperlihatkan peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kultur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
            Pada osteomielitis kronik, besar, kavitas iregular, peningkatan periosteum, sequestra atau pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. pemindaian tulang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi area infeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk menentukan organisme infektif dan terapi antibiotik yang tepat.
7.      Pencegahan
            Sasaran utamanya adalah Pencegahan osteomielitis. Penanganan infeksi lokal dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak pada mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatian terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis pascaoperasi. Antibiotika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat pembedahan dan selama 24 jam sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik akan menurunkan insiden infeksi superfisial dan potensial terjadinya osteomielitis.
8.      Penatalaksanaan
            Daerah yang terkana harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran daerah. Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi, Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu patogen. Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol, antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
            Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi antibitika dianjurkan. Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
            Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
            Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
PROSES KEPERAWATAN
1.      Pengkajian
o   Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (mis. Nyeri lokal, pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan keluarnya pus dari sinus disertai nyeri, pembengkakan dan demam sedang.
o   kaji adanya faktor risiko (mis. Lansia, diabetes, terapi kortikosteroid jangka panjang) dan cedera, infeksi atau bedah ortopedi sebelumnya.
o   Pasien selalu menghindar dari tekanan didaerah tersebut dan melakukan gerakan perlindungan.
o   Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
o   Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah inflamasi, pembengkakan nyata, hangat yang nyeri tekan. Cairan purulen dapat terlihat. Pasien akan mengalami kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
o   Pasien akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
o   Pada osteomielitis kronik, peningkatan suhu mungkin minimal, yang terjadi pada sore dan malam hari.
2.      Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pasien dengan osteomielitis dapat meliputi yang berikut :
1)      Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2)      Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan beban berat badan
3)      Risiko terhadap penyebaran infeksi, pembentukan abses tulang
4)      Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan
Perencanaan dan Implementasi
Sasaran, sasaran pasien meliputi :
1)      peredaan nyeri,
2)      perbaikan mobilitas fisik dalam batas-batas terapeutik,
3)      kontrol dan eradikasi infeksi dan
4)      pemahaman mengenai program pengobatan.
Intervensi Keperawatan
Peredaan nyeri
a)      imobilisasikan bagian yang terkena dengan bidai untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.
b)      Sendi diatas dan dibawah bagian yang terkena harus dibuat sedemikian sehingga masih dapat digerakkan sesuai rentangnya namun dengan lembut. Lukanya sendiri kadang terasa sangat nyeri dan harus ditangani dengan hati-hati dan perlahan.
c)      Tinggikan bagian yang terkena untuk mengurangi pembengkakan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
d)     Pantau Status neurovaskuler ekstremitas yang terkena.
e)      Lakukan Teknik manajemen nyeri seperti massage, distraksi, relaksasi, hipnotik untuk  mengurangi persepsi nyeri dan kolaborasi dengan medis untuk pemberian analgetik.
Perbaikan Mibilitas Fisik.
a)      Program pengobatan dengan membatasi aktivitas.
b)      Liindungi tulang dengan alat imobilisasi dan hindarkan  stres pada tulang karena  Tulang menjadi lemah akibat proses infeksi.
c)      Berikan pemahaman tentang rasional pembatasan aktivitas.
d)     Partisipasi aktif dalam kehidupan sehari-hari dalam batas fisik tetap dianjurkan untuk mempertahankan rasa sehat secara umum.
Mengontrol Proses Infeksi.
a)      Pantau respons pasien terhadap terapi antibiotika.
b)      Observasi tempat pemasangan infus tentang adanya i flebitis atau infiltrasi.
c)      Bila diperlukan pembedahan, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan adanya peredaran darah Yang mewadai (pengisapan luka untak mencegah penumpukan cairan, peninggian daerah untuk memperbaiki aliran balik vena, menghindari tekanan pada daerah Yang di graft) untuk mempertahankan imobilitas Yang dibutuhkan, dan untuk memenuhi pembatasan beban berat badan.
d)     Pantau kesehatann urnum dan nutrisi pasien.
e)      Berikan diet protein seirnbang, vitamin C dan vitamin D dipilih untak meyakinkan adanya keseimbangan nitrogen dan merangsang penyembuhan.
Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah
a)      Pasien harus dalam keadaan stabil secara medis dan telah termotivasi, dan keluarga harus mendukung. Lingkungan rumah harus bersifat kondusif terhadap pro¬mosi kesehatan dan sesuai dengan program terapeutik.
b)      Pasien dan keluarganya harus memahami benar proto¬kol antibiotika.
c)      Ajarkan cara teknik balutan secara steril dan teknik kompres hangat. Pendi-dikan pasien sebelum pemulangan dari rurnah sakit dan supervisi serta dukungan Yang memadai dari perawatan di rumah sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan osteomielitis di rumah.
d)     Pantau dengan cermat menge¬nai bertambahnya daerah nyeri atau peningkatan suhu Yang mendadak. Pasien diminta. untuk melakukan obser-vasi dan melaporkan bila terjadi peningkatan suhu, ke¬luarnya pus, bau, dan bertambahnya inflamasi.

BURSITIS
1.      Definisi
Bursitis adalah peradangan bursa, yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan pasti. Bursitis adalah peradangan pada bursa yang disertai rasa nyeri. Bursa adalah kantong datar yang mengandung cairan sinovial, yang memudahi pergerakan normal dari beberapa sendi pada otot dan mengurangi gesekan.
            Bursa terletak pada sisi yang mengalami gesekan, terutama di tempat dimana atau otot melewati tulang. Dalam keadaan normal, sebuah bursa mengandung sangat sedikit cairan. Tetapi jika terluka, bursa akan meradang dan terisi oleh cairan.
Bursa yang sering terkena adalah :
1)      Bursa sub akromial dan bursa deltoid pada bahu yaitu bursa yang paling penting dalam tubuh, inflamasi pada bursa ini menimbulkan perasaan nyeri akut serta pergerakan yang terbatas terutama gerakan abduksi pada sendi bahu, dan nyeri menetap pada insersi deltoid terutama pada malam hari. Sering kali sekunder akibat robeknya bungkus rotator yang terjadi tanpa di ketahui.
2)      Bunion bursitis yaitu daerah pembengkakan yang mengeras pada permukaan metakarpofalangeal I. penanggulangan dengan aspirasi cairan pada bagian yang membengkak dan suntikan kortikosteroid local.
3)      Bursitis Achilles yang terdapat pada perlekatan tendon Achilles dengan tulang kallaneus (retrokalkaneal bursa) dan di antara bursa tersebut dan kulit (bursa sub kutaneous). Menimbulkan rasa nyeri di daerah tersebut terutama pada kalkaneus posterior. Mudah untuk melakukan suntikan kortikosteroid dan xilokain pada daerah pembengkakan di sini, tetapi harus hati-hati tidak boleh ada bolus pada tendon untuk menghindari risiko rupture.
4)      Heel spur bursitis. Menimbulkan rasa nyeri pada daerah tumit. Suntikan local kortikosteroid dan atau lidokain sangat membantu.
5)      Anserin bursitis, sering disalah tafsirkan sebagai osteortritis karena dijumpai pada wanita tua bertubuh gemuk, yaitu berupa rasa nyeri, tegang (tender) dan kadang-kadang membengkak dan terasa panas di daerah lutut bagian medial inferior, distal garis sendi.
6)      Bursitis pre patellar (house maid’s knee dengan keluhan yang khas pada lutut, yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut, terasa kaku, bengkak dan berwarna merah pada bagian anterior lutut (patela). Penyebab yang paling sering karena lutut sering bertumpu pada lantai. Berbeda dengan sinovitis pada lutut yang menimbulkan pembengkakan di daerah belakang bagian pinggir lutut.
7)      Bursitis olekranon, terdapat pada puncak siku (tip). Hal ini sering terjadi pada posisi dengan menggunakan siku atau sering jalan tiarap. Walaupun inflamasinya jelas tetapi kadang-kadang rasa nyeri hanya minimal. Juga dapat timbul pada artristis rheumatoid, gout, akibat trauma dan infeksi. Pencegahan dilakukan dengan memakai alas karet busa untuk protektif. Kalau perlu dapat diberi suntikan local kortikosteroid.
8)      Bursitis kalkaneal, ada 3 bursa di sekeliling kalkanrus yang dapat mengalami inflamasi dan menimbulkan rasa sakit yaitu :
·         Bursitis retro kalkaneal pada bagian anterior Achilles.
·         Bursitis post kalkaneal pada bagian posterior Achilles
·         Bursitis sub kalkaneal pada bagian inferior tulang kalkaneus. Bursitis yang berulang-ulang di tempat ini dapat mengakibatkan tebdnitis pada Achilles dan dapat mengakibatkan rupture tendon.
9)      Bursitis pada ibu jari metakarpofangeal I, kelingking dan tumit. Hal ini terutama di sebabkan ukuran sepatu yang tidak sesuai.
10)  Bursitis hip (pada pinggul), ada 3 yang terpenting yaitu :
·         bursitis trokanter, pada inseri otot gluteus medius di trokanter femur, menimbulkan rasa nyeri pada bagian lateral pinggul sebelah bawah trokanter dan dapat menjalar ke bawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri istimewa pada malam hari dan bertamnah nyeri kalau dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat penekanan di daerah trokanter tersebut dijumpai otot-otot menegang kaku. Dan pada foto roentgen terlihat adanya deposit kalsium. Penanggulangan dengan suntikan local lidocain 1%.
·         Bursitis iliopektineal, menimbulkan rasa nyeri dan tegang di daerah lateral segi tiga skarpa (daerah segi tiga yang dibatasi oleh ligament inguinal,
Bursitis digolongkan menjadi 2 :
1)      Bursitis akut terjadi secara mendadak.
Jika disentuh atau digerakkan, akan timbul nyeri di daerah yang meradang. Kulit diatas bursa tampak kemerahan dan membengkak. Bursitis akut yang disebabkan oleh suatu infeksi atau gout menyebabkan nyeri luar biasa dan daerah yang terkena tampak kemerahan dan teraba hangat.
2)      Bursitis kronis merupakan akibat dari serangan bursitis akut sebelumnya atau cedera yang berulang. Pada akhirya, dinding bursa akan menebak dan di dalamnya terkumpul endapan kalsium padat yang menyerupai kapur. Bursa yang telah mengalami kerusakan sangat peka terhadap peradangan tanbah. Nyeri menahun dan pembengkakan bisa membatasi pregerakan, sehingga otot mengalami penciutan (atrofi) dan menjadi lemah. Serangan bursitis kronis berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering kambuh.
2.      Etiologi
Penyebabnya sering kali tidak diketahui, tetapi burnitis dapa disebabkan oleh :
-          Cedera
-          Gout
-          Pseudogout
-          Arthritis rematoid
-          Infeksi. Yang paling mudah terkena bursitis adalah bahu, bagian tubuh lainnya yang juga terkena bursitis adalah sikut, pinggul, lutut, jari kaki, dan tumit.
3.       Tanda dan Gejala
            Gejala utama pada bursitis pada umunya berupa pembengkakan lokal, panas, merah, dan nyeri. Bursitis menyebabkan nyeri dan cenderung membatasi pergerakan, tetapi gejala yang khusus tergantung kepada lokasi bursa yang meradang. Jika bursa di bahu meradang, maka jika penderita mengangkat lengannya untuk memakai baju akan mengalami kesulitan dan merasakan nyeri.
4.      Pengobatan
            Bursa yang terinfeksi harus dikeringakan dan diberikan obat antibiotik. Burnitis akut non-infeksius biasanya diobati dengan istirahat sementara waktu sendi yang terkena tidak digerakkan dan diberikan obat peradangan non-steroid (misalnya indometasin, ibuprofen atau naproksen). Kadang diberikan obat pereda nyeri. Selain itu bisa disuntikkan campuran daru obat bius lokan dan kortikosteroid langsung ke dalam bursa. Penyuntikan ini mungkin perlu dilakukan lebih dari satu kali. Pada burnitis yang berat dibrikan kortikostiroid (misalnya perdnison) per-oral (ditelan) selama beberapa hari. Setelah nyeri mereda, dianjurkan untuk melakukan latihan khusus guna meningkatkan daya jangkau sendi. Bursitis kronis diobati dengan cara yang sama. Kadang endapan kalsium yang besar di bahu bisa dibuang melalui jarun atau melalui pembadahan. Kortikosteoid bisa langsung disumtikkan ke dalam sendi. Terapi fisik dilakukan untuk mengemblikan fungsi sendi. Latihan bisa membantu mengembalikan kekuatan otot dan daya jankau sendi. Bursitis sering kambuh jika penyebabnya ( misalnya, gout, arthritis rematoid atau pemakaianberlebihan) tidak diatasi.
5.      Pemeriksaan Penunjang
gAda pemeriksaan khusus untuk memastikan adanya bursitis yaitu dengan radiografi. Pada daerah yang terserang biasanya menunjukkan adanya klasifikasi dalam bursa, tendon atau jaringan lunak yang berdekatan.
6.      Diagnosa Banding
-          Sepsis atau sinflamasi : aspirasi dan biakan
-          Mungkin sukar dibedakan antara bursitis dan arthritis inflamasi akut, selulitis, atau ostiomieolitis
-          Diagnosa sering ditegakkan berdasarkan lokasi nyeri pada tempat yang klasik
-          Sendi yang terserang biasanya mempunyai ruang gerak pasif yang hampir normal
INTERVENSI           
1)      Kaji lokasi, intensitas dan derajat nyeri.
2)      Berikan posisi yang nyaman.
3)      Berikan kasur busa atau bantal air pada bagian yang nyeri.
4)      Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi.
5)      Kolaborasi pemberian aspirin.
RASIONAL
1)      Membantu dalam menentukan kebutuhan manajemen nyeri dan keafektifan program.
2)      Pada penyakit berat / eksaserbasi, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri.
3)      Meningkatkan relaksasi / mengurangi tegangan otot.
4)      Aspirin bekerja sebagai anti dan efek analgetik ringan dalam mengurangi kekakuan dan meningkatkan mobilitas.
B.        Gangguan inteloriensi aktifitas yang berhubungan dengan kelemahan/ keletihan.
Tujuan : Klien dapat melakukan aktifitasnya setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x 24 jam.
Kriteria hasil :
- Klien dapat melakukan aktifitas sehari-hari sesuai dengan tingkat kemampuan
- Klien dapat mengidentifikasikan faktor-faktor yang menurunkan toleriansi aktifitas
NTERVENSI
RASIONAL
  1. Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidak mampuan untuk berpartisipasi dalam aktifitas sehari-hari
  2. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan
  3. Pertahankan istirahat tirah baring / duduk jika diperlukan
  1. Berikan lingkungan yang aman
1. Klien menunjukkan kelemahannya berkurang dan dapat melakukan aktifitasnya
2. Menghemat energi untuk aktifitas
3. Istirahat sistemik dianjurkan selama eksaserbasi dan seluruh fase penyakit yang penting mencegah kelemhan
4. Menghindari cedera akibat kecelakaan
  1. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan, nyeri pada waktu bergerak.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien mampu melakukan perawatan terhadap dirnya secara mandiri.
Kriteria hasil :
Klien mampu melaksanakan aktifitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual.
Klien mampu mendemontrasikan perubahan teknik atau gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.
INTERVENSI
RASIONAL
  1. Kajian keterbatasan klien dalam peraatan diri.
  2. Pertahankan mobilitas, control terhadap nyeri dan program latihan.
  3. Kaji hambatan terhadap partisipasi dan perawatan diri.
  4. Konsul dengan ahli terapi okulasi.
1. Mungkin dapat melanjutkan aktifitas umum dengan melakukan adaptasi yang dilakukan pada saaat ini.
2. Mendukung kemandirian fisik / emosional.
3. Menyiapkan untuk meningkatkan kemandirian, yang akan meningkatkan harga diri.
4. Berguna untuk menentukan alat bantu utnuk memenuhi kebutuhan individu.

Daftar Pustaka
  • Bennett, J. Claude, and Fred Plum, eds. Cecil Textbook of Medicine. Philadelphia:W. B. Saunders Co., 1996.
  • Bennett, Robert M. “Bursitis, Tendinitis, Myofascial Pain, and Fibromyalgia.” In Conn’s Current Therapy. ed. Robert E. Rakel. Philadelphia:W. B. Saunders Co., 1996.
  • The Burton Goldberg Group. Alternative Medicine: The Definitive Guide. Fife,WA: Future Medicine Publishing, 1995.
  • Jacqueline L. Longe. The Gale Encyclopedia of Medicine Second Edition. 27500 Drake Road :Gale Group, 2002
http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/06/bursitis.html

SPONDILITIS
1.      Pengertian
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra (Abdurrahman, et al 1994; 144 )
2.      Patofisiologi
            Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di tubuh. Penyebarannya secara hematogen, di duga terjadinya penyakit tersebut sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra di tandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami pengejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk "tuberculos squestra". Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses para vertebral yang dapat menjalar ke atas / bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedang diskus Intervertebralis oleh karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan terjadi penyempitan oleh karena dirusak jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kiposis.
3.      Dampak Masalah
a) Terhadap Individu
            Sebagai orang sakit, khusus klien spondilitis tuberkolosa akan mengalami suatau perubahan, baik iru bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan dampak yang di karenakan baik itu oleh proses penyakit ataupun pengobatan dan perawatan oelh karena adanya perubahan tersebut akan mempengaruhi pola - pola fungsi kesehatan antara lain :
1)      Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya
2)      Pola aktifitas. Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
3)      Pola persepsi dan konsep diri. Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
b) Dampak terhadap keluarga.
            Dalam sebuah keluarga, jika salah satu anggota keluarga sakit, maka yang lain akan merasakan akibatnya yang akan mempengaruhi atau merubah segala kondisi aktivitas rutin dalam keluarga itu.
ASUHAN KEPERAWATAN
            Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan dan juga sebagai alat dalam melaksanakan praktek keperawatan yang terdiri dari lima tahap yang meliputi : pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. ( Lismidar, 1990 : IX ).
1.      Pengkajian.
            Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data, pengelomp[okan data, perumusan diagnosa keperawatan. ( Lismidar 1990 : 1)
a.       Pengumpulan data.
Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien,        keluarga maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
1)      identitas klien
meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2)      Riwayat penyakit sekarang.
utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3)      Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. ( R. Sjamsu hidajat, 1997 : 20).
4)      Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut.
5)      Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6)      Pola - pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
            Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
            Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. ( Abdurahman, et al 1994 : 144)
c. Pola eliminasi.
            Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi.
d. Pola aktivitas.
            Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
            Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran.
            Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
            Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
            Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual.
            Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
j. Pola penaggulangan stres.
            Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
            Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya.
7) Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi.
            Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis.
b. Palpasi.
            Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.
c. Perkusi.
            Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok.
d. Auskultasi.
            Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan. ( Abdurahman, et al 1994 : 145 ).
8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium.
a. Radiologi
·         Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior.
·         Terdapat penyempitan diskus.
·         Gambaran abses para vertebral ( fusi form ).
b. Laboratorium
Laju endap darah meningkat
c. Tes tuberkulin.
·         Reaksi tuberkulin biasanya positif.
b. Analisa.
            Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami oleh klien. (Mi Ja Kim, et al 1994).
2.      Diagnosa Keperawatan.
            Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 : 17 ).
Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah:
a)      Gangguan mobilitas fisik
b)      Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot.
c)      Perubahan konsep diri : Body image.
d)     Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah. ( Susan Martin Tucker, 1998 : 445 )
3.      Perencanaan Keperawatan.
            Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yang akan di laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien. ( Tim Departemen Kesehatan RI, 1991 :20 ).
Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut :
a. Diagnosa Perawatan Satu
            Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri.
1. Tujuan
            Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal.
2. Kriteria hasil
a)      Klien dapat ikut serta dalam program latihan
b)      Mencari bantuan sesuai kebutuhan
c)      Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal.
3. Rencana tindakan
a)      Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan.
b)      Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
c)      Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara :
·         Mattress
·         Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur.
d)     mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ;
·         Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri (bersandar pada tembok ) maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah secara bersamaan.
·         Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit.
·         Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan.
e)      monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam.
f)        Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet.
g)      Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi.
h)      Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak nyaman pada lambung atau diare.
4. Rasional
a)      Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b)      Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
c)      Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
d)     Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal.
e)      Untuk mendeteksi perubahan pada klien.
f)       Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi.
g)      Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak.h) Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat menimbulkan efek samping.
b. Diagnosa Keperawatan Kedua
Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi.
1) Tujuan
a)      Rasa nyaman terpenuhi
b)      Nyeri berkurang / hilang
2) Kriteria hasil
a)      lien melaporkan penurunan nyeri
b)      menunjukkan perilaku yang lebih relaks
c)      memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang di [elajari dengan peningkatan keberhasilan.
3) Rencana tindakan
a)      Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang baru.
b)      Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri.
c)      Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian.
d)     Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa nyaman.
e)      Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri.
4) Rasional.
a)      Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri.
b)      Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap nyeri klien.
c)      Korset untuk mempertahankan posisi punggung.
d)     Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang.
e)      Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang.
c. Diagnosa Keperawatan ketiga
            Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh.
1) Tujuan
            Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang adaptif.
2) Kriteria hasil
            Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan koping yang positif dalam mengatasi perubahan citra.
3) Rencana tindakan
a)      Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus mendengarkan dengan penuh perhatian.
b)      Bersama-sama klien mencari alternatif koping yang positif.
c)      Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman serta berikan aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image.
4) Rasional
a)      meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri.
b)      Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien.
c)      Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri.
d. Diagnosa Keperawatan keempat
            Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan di rumah.
1) Tujuan
            Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah.
2) Kriteria hasil
a)      Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset
b)      Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan
c)      Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan, dan gejala kemajuan penyakit.
3) Rencana tindakan
a)      Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek sampingnya.
b)      Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset.
c)      Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat.
d)     Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur.
e)      Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas.
f)       Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter.
Adapun kriteria hasil yang di harapkan pada klien Spondilitis tuberkulosa adalah:
1. Adanya peningkatan kegiatan sehari –hari ( ADL) tanpa menimbulkan gangguan rasa nyaman .
2. Tidak terjadinya deformitas spinal lebih lanjut.
3. Nyeri dapat teratasi
4. Tidak terjadi komplikasi.
5. Memahami cara perawatan dirumah
http://qittun.blogspot.com/2008/10/asuhan-keperawatan-dengan-spondilitis.html


 


FRAKTUR

1.      Pengertian

Fraktur à terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
Patah Tulang Tertutup à  adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Kapita selekta, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

2.      Etiologi

1)      Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2)      Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3)      Kekerasan akibat tarikan otot
        Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)

3.      Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya  (Black, J.M, et al, 1993)

4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1)     Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)     Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 1995 )  
    

5.      Klasifikasi Fraktur

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.       Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1).     Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2).     Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.      Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1).     Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2).     Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)         Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b)         Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)         Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.       Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1).     Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2).     Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3).     Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4).     Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5).     Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.      Berdasarkan jumlah garis patah.
1)       Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)       Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)       Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e.       Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1).     Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2).     Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)      Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah  sumbu dan overlapping).
b)      Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)      Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

f.       Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1.      1/3 proksimal
2.      1/3 medial
3.      1/3 distal
g.      Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h.      Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a.       Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b.      Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.       Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d.      Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

6.      TANDA DAN GEJALA FRAKTUR


ü  Deformitas
ü  Bengkak/edema
ü  Echimosis (Memar)
ü  Spasme otot
ü  Nyeri
ü  Kurang/hilang sensasi
ü  Krepitasi
ü  Pergerakan abnormal
ü  Rontgen abnormal


7.      PENANGANAN

1.      FRAKTUR TERBUKA
Merupakan kasus emergensi à dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
  • Pembersihan luka
  • Exici
  • Hecting situasi
  • Antibiotik

2.      SELURUH FRAKTUR
1.      Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2.      Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran­nya dan rotasfanatomis (brunner, 2000).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaring­an lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk  menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup.  Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar‑x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapat­kan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar‑x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar‑x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobili­sasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang (Gbr. 64‑3); alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.

3.      Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. ­Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalut­an, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

4.      Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan keti­daknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari‑hari diusahakan untuk memperbaiki ke­mandirian fungsi dan harga‑diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

8.      Penatalaksanaan Kadaruratan

o   Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan, bingung, tidak menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan.
o   Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
o   Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
o   Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan  menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
o   Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
o   Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkat bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atau lengan dapat dibe­batkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling.
o   Peredaran didistal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
o   Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengah pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali‑kali melakukan reduksi frak­tur, bahkan ada fragmen tulang yang keluar melalui luka.  Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan di atas.
o   Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Perawatan Pasien Fraktur Tertutup
o   Pasien dengan fraktur tertutup (sederhana) harus diusa­hakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin mernerlukah waktu sampai berbulan‑bulan.
o   Pasien diajari bagaima menngontrol pembengkakan dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak.
o   Mereka didorong untuk aktif dalam batas imobilisasi fraktur. Tirah baring diusahakan seminimal mungkin.
o   Latihan segera dimulai untuk mempertahankan kesehatan otot yang sehat dan untuk meningkatkan kekuatan otot yang dibutuhkan untu pemindahan dan untuk menggunakan alat bantu (mis. tongkat, waltker).
o   Pasien diajari mengenai bagaimana menggunakan alat tersebut dengan aman
o   Perencanaan dilakukan untuk membantu pasien menyesuaikan lingkungan rumahnya sesuai kebutuhan dan bantuan keamanan pribadi, bila perlu.
o   Pengajaran pasien meliputi perawatan diri, informasi obat-obatan, pemantauan kemungkinan profesional masalah dan perlunya melanjutkan supervisi perawatan kesehatan.

Perawatan Pasien Fraktur Terbuka
Pada fraktur terbuka (yang berhubungan dengan luka terbuka memanjang sampai permukaan kulit dan daerah cedera tulang) terdapat resiko infeksi – osteomielitis, gas gangren dan tetanus.
Tujuan penangan à  meminimalkan kemungkinan infeksi luka, jaringan lunak dan tulang untuk mempercepat penyembuhan jaringan lunak dan tulang.
  • Pasien dibawa ke urangan operasi, dimana luka dibersihkan, didebridemen (benda asing dan jaringan mati diangkat dan irigasi.
  • Dilakukan usapan luka untuk biakan dan kepekaan. Fragmen tulang mati biasanya diangkat. dan diirigasi. Dilakukan, usapan luka untuk biakan dan kepekaan.
  • Fragmen tulang mati biasanya diangkat. Mungkin perlu dilakulan graft tulang untuk menjembatani defek, namun harus yakin bahwa jaringan resipien masih sehat dan mampu memfasilitasi penyatuan.
  • Fraktur direduksi dengan hati‑hati dan distabilisasi dengan fiksasi eksterna. Setiap kerusakan pada pembuluh darah, jaringan Iunak. otot, saraf, dan tendo diperbaiki
  • Ekstremitas, ditinggikan untuk meminimalkan terjadinya edema.
  • Status neurovaskuler dikaji sesering mungkin.
  • Suhu tubuh pasien diperiksa dengan  interval teratur, dan pasien dipantau mengenai adana tanda infeksi
  • Penutupan primer mungkin tak dapat dicapai karena adanya edema potensial iskemia cairan luka yang tak dapat keluar dan infeksi anaerob.
  • Luka yang sangat terkontaminasi sebaikhya tidak dijahit, dibalut dengan pembalut steril, dan tidak ditutup sampai ketahuan bahwa daerah tersebut tidak mengalami infeksi.
  • Profilaksis tetanus diberikan Biasanya, diberikan antibiotika intravena untuk mencegah atau menangani infeksi serius.
  • Luka ditutup dengan jahitan atau graft atau flap kulit autogen pada hari ke‑5 sampai ke‑7.

Proses  Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1)      Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 
2)      Stadium Dua-Proliferasi Seluler      
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.  
3)      Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.     
4)      Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan  osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal. 
5)      Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993). Lamanya proses penyembuhan untuk tiap tulang berbeda, tergantung dengan ketebalan dan besarnya tulang secara relative, serta macamnya tulang :
·         Fraktur cruris               :           ± 8 minggu
·         Fraktur femur              :           ± 10 minggu
·         Ante brachii                            :           ± 4 minggu
·         Brachii dan humerus   :           ± 6 Minggu

Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur
Reduksi. fragmen tulang yang bergeser harus benar‑benar akurat dan dipertahankan dengan sempuma agar penyembuhan benar‑benar lerjadi. Tulang yang terkena harus mempunyai peredaran darah yang rnemadai. Usia pasien dan jenis fraktur juga berpengaruh pada waktu penyembuhan. Secara umum, patah pada tulang pipih (pelvis, skapula) sembuh cukup cepat. Patah pada ujung tulang panjang, di mana tulang lebih vaskuler (pertengahan batang tulang panjang). Pembebanan berat badan akan merangsang penyembuhan pada fraktur panjang yang telah stabil pada ekstremitas bawah. Selain itu, aktivitas akan meminimalkan terjadi­nya osteoporosis yang berhubungan dengan aktivitas (reduksi masa total, menghasilkan tulang porotik dan rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis, pergan­tian tulang). Tabel 64‑1, menunjukkan perkiraan waktu imobilisasi yang diperlukan untuk penyatuan pada jenis fraktur yang biasa.
      Bila penyembuhan fraktur terhambat, waktu penyatu­an tulang mengalami keterlambatan atau berhenti total. Faktor yang dapat menghambat penyembuban  meliputi asupan darah yang tak memadai ke tempat fraktur atau jaringan sekitarnya, jarak antara fragmen tulang yang ekstensif, imobilisasi tulang yang tidak memadai, infeksi, komplikasi dari penanganan, dan kelainin metabolisme.

Penyembuhan dipengaruhi oleh : (berhubungan dengan proses menua)
ü  Nutrisi adekuat
ü  Kalsium
ü  Posfor
ü  Protein
ü  Vitamin D
ü  Penyakit sistemik à penyakit pada vaskuler à menurunkan suplai darah pada saat penyembuhan.
ü  Penurunan estrogen

Komplikasi fraktur

1.      Komplikasi Awal
a.      Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b.      Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c.       Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d.      Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e.       Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan  nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f.        Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2.      Komplikasi Dalam Waktu Lama
a.      Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b.      Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c.       Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)

PROSES KEPERAWATAN

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1.    Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a.      Pengumpulan Data
1)          Anamnesa
a)       Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)        Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1)      Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)         Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)         Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)        Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)        Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)


c)       Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)      Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)       Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)        Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g)       Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1)   Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)   Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)   Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4)   Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5)   Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)   Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap  (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7)   Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8)   Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9)   Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10)   Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).

11)   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2)         Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a)       Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)   Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a)    Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)   Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)    Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)   Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)    Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b)   Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)    Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(d)   Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e)    Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f)     Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g)   Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h)   Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(i)     Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j)     Paru
(1)   Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2)   Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3)   Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4)   Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)   Jantung
(1)   Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2)   Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3)   Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)     Abdomen
(1)   Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2)   Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3)   Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4)   Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b)       Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler à 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1)   Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)    Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)   Cape au lait spot (birth mark).
(c)    Fistulae.
(d)   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)    Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)    Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)    Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2)   Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)    Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time à Normal 3 – 5 “
(b)   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)    Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau  permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)   Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)         Pemeriksaan Diagnostik
a)       Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi  kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
(1)   Bayangan jaringan lunak.
(2)   Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)   Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4)   Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)   Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2)   Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3)   Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4)   Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)       Pemeriksaan Laboratorium
(1)   Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
(2)   Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3)   Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase  (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)       Pemeriksaan lain-lain
(1)     Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2)     Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3)     Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)     Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)     Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)     MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b.      Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

2.    Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan

Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.

a.      Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.


2.    Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.

3.    Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.


4.    Bila terpasang traksi, pertahankan posisi traksi (Buck, Dunlop, Pearson, Russel)



5.    Yakinkan semua klem, katrol dan tali berfungsi baik.

6.    Pertahankan integritas fiksasi eksternal.



7.    Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto.


Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat perubahan posisi.

Mencegah gerakan yang tak perlu akibat perubahan posisi.



Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring dengan berkurangnya edema

Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot untuk mempercepat reunifikasi fragmen tulang

Menghindari iterupsi penyambungan fraktur.

Keketatan kurang atau berlebihan dari traksi eksternal (Hoffman) mengubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan posisi.

Menilai proses penyembuhan tulang.

b.      Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.  Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

2.  Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3.  Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4.  Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

5.  Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6.  Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

7.  Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.


8.  Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)


Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.


Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai perkembangan masalah klien.





c.       Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2.    Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.


3.    Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.


4.    Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.


5.    Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.


Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.


Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.


 

d.      Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.

2.    Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.

3.    Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.



4.    Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit





5.    Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.


Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.


Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.


Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.


e.       Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)


INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2.    Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.



3.    Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4.    Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5.    Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.


6.    Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.


7.    Berikan diet TKTP.




8.    Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.


9.    Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.


Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial.

Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.


Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.


Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.


Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.


Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

Menilai perkembangan masalah klien.


f.       Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).

2.    Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.


3.    Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal


4.    Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.


Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.

Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.


Menilai perkembangan masalah klien.

 


g.      Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL

1.    Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol

2.    Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.

3.    Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.



4.    Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)


5.      Observasi tanda-tanda vital dan  tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi.

Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.


h.      Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.


Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.

Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.

 

Evaluasi

o   Tidak terjadi trauma
o   Nyeri berkurang atau hilang
o   Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o   Pertukaran gas adekuat
o   Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
o   Infeksi tidak terjadi
o   Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

Bagian-Bagian Tulang Panjang
Jenis-Jenis Fraktur

Keterangan Gbr
A   :  Fraktur Tranversal
B    :  Fraktur Oblique
C    :  Fraktur Spiral
Keterangan Gbr:
A   :  fraktur Segmental
B    :  Fraktur Kelelahan
C    :  Fraktur Greenstick
Tipe Fraktur
Keterangan Gbr:
A   :  Fraktur patologik
B    :  Fraktur Kompresi
C    :  Avulsi
Keterangan Gbr:
A   :  Angulasi
B    :  Oposisi


TUMOR ASAL  JARINGAN IKAT

            Fibroma desmoplastik merupakan tumor jinak yang dapat mengenai anak-anak dan dewasa, terutama terjadi pada tulang panjang dan tulang pipih. Gejala yang dapat ditemukakn berupa pembengkakan dan nyeri.
            Pada pemeriksaan radiiologi, ditemukan daerah trabekulasi yang berbatas tegas. Salah satu atau seluruh korteks akan mengalami penipisan dan ekspansi. Secara histologist, tumor ini mirip dengan tumor desmoids jaringan lunak lainnya. Jaringannya sangat kurang mengandung sel dengan nucleus yang ovoid dan memanjang. Tumor ini cenderung mengalami rekurensi local setelah eksisi sehingga perlu dilakukan eksisi yang luas dan diikuti dengan bone graft.
            Lipoma merupakan suatu tumor jinak yang terdiri atas jaringan lemak matur dan biasanya ditemukan pada orang dewasa.
            Fibrosarkoma berasal dari jaringan lunak endosteal dan menghasilkan kolagen. Fibrosarkoma dapat bersifat primer atau bersifat sekunder akibat keganasan penyakit sebelumnya, misalnya akibat penyakit Paget. Insidennya bervariasi antara 5-7% dari seluruh tumor ganas tulang, biasanya ditemukan setelah usia 20-60 tahun. Klien umumnya dating dengan gejala pembengkakan atau fraktur patologis. Fibrosarkoma terutama terjadi pada metafisis femur dan tibia tetapi dapat meluas sampai epifisis, umumnya bersifat sentral pada tulang, tetapi kadang-kadang dapat bersifat eksentrik.
            Pada foto rontgen, tumor terlihat berbentuk lobulasi dan trabekulasi ireguler yang disebut sebagai melting-away pada bagian tulang yang terkena. Mungkin dapat ditemukan adanya reaksi subperiosteal tulang, tetapi tidak terdapat pembentukan tulang baru. Tumor biasanya berada pada daerah sumsum, tetapi dapat juga mengenai korteks yang mengakibatkan erosi dan penipisan korteks tulang dan dapat ditemukan gambaran osteolitik.
Kelainan ditandai dengan pembentukan sel-sel tumor berbentuk serabut kolagen. Tidak ditemukan adanya pembentukan tulang dan tulang rawan. Fibrosarkoma kurang sensitive terhadap radioterapi dibandingkan dengan sarcoma osteogenik, tetapi radioterapi dapat digunakan sebagai penatalaksanaan tambahan selain operasi. Prognosis fibrosarkoma bergantung pada tingkat anaplastik fibrosarkoma yang terjadi. Fibrosarkoma sekunder dapat timbul akibat penyakit Paget, osteitis pasca-radiasi dan lesi tulang rawan yang disertai deposisi kalsium.
Mesenkimoma ganas juga merupakan salah satu tumor ganas yang berasal dari jaringan ikat dengan tingkat diferensiasi serta gambaran struktur sel yang multiple, yang secara normal tidak ditemukan pada tulang.
Liposarkoma merupakan tumor ganas yang sangat jarang ditemukan kelainan ditandai dengan adanya diferensiasi lipoblastik ketika ditemukan lipoblas yang atipik dengan tingkat diferensiasi yang berbeda.
Neurofibroma merupakan tumor jinak yang dapat ditemukan pada tulang yang berkembang dari jaringan saraf.
Kardoma merupakan tumor ganas yang berasal dari sisa notokord, sering ditemukan pada usia dewasa muda, dan berkembang secara progresif pada daerah sacrum dan koksigis (50%). Kordoma juga dapat ditemukan pada tulang belakang dan terasa nyeri pada pinggang bawah. Apabila terjadi pada sacrum, kordoma dapat menimbulkan obstruksi uretra/ rectum, dan pada tingkat lanjut dapat timbul gejala neurologis.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan berupa reseksi local. Tumor biasanya melakukan infiltrasi pada jaringan lunak sekitarnya, tetapi jarang mengadakan metstasis. Prognosis kelainan ini baik dan jarang terjadi rekurensi.

PROSES KEPERAWATAN KLIEN TUMOR DAN KEGANASAN PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

1.         PENGKAJIAN
A.    Anamnesis
1.      Identitas , meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomer registrasi, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis. Usia klien sangat penting untuk diketahui karena banyak tumor tulang yang mempunyai kekhasan dalam usia terjadinya, misalnya sarcoma osteogenik ditemukan pada anak sampai sebelum dewasa muda, kondrosarkoma pada usia 40 tahun, tumor sel raksasa jarang ditemukan dibawah usia 20 tahun. Jenis kelamin klien juga penting dikaji. Hal ini untuk musculoskeletal berhubungan dengan jenis kelamin. Pengkajian identitas klien sangat mendukung untuk bahan penelitian yang sangat dibutuhkan dikemudian hari.
2.      Keluhan utama. Pada umumnya keluhan utama pada kasus tumor dan keganasan adalah nyeri pada daerah yang mengalami masalah. Nyeri merupakan keluhan utama pada tumor ganas.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST
3.      Riwayat penyakit sekarang. Pengumpulan data dilakukan sejak keluhan muncul dan secara umum mencakup awitan gejala dan bagaimana gejala tersebut berkembang.
4.      Riwayat penyakit dahulu. Pada pengkajian ini, ditemukan kemungkinan penyebab yagn mendukung terjadinya tumor dan keganasan. Adanya fraktur terbuka yang meninggalkan bekas sikatriks dapat mendukung terjadinya suatu lesi pada jaringan lunak.
5.      Riwayat penyakit keluarga. Kaji tentang adakah keluarga dari generasi terdahulu yang mengalami keluhan utama yang sama dengan klien. Beberapa kelainan genetic dikaitkan dengan terjadinya keganasan tulang, misalnya sarcoma jaringan lunak atau soft tissue sarcoma (STS).
6.      Riwayat Psikososial. Kaji respons emosi klien terhadap penyakit yang diderita dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Pemeriksaan Fisik
·      B1 (Breathing). Inspeksi : apabila tidak melibatkan system pernapasan, biasanya akan ditemukan kesimetrisan rongga dada normal, klien tidak sesak nafas, tidak menggunakan otot bantu pernapasan. Apabila melibatkan system pernapasan seperti adanya tumor paru dan keganasan pada paru atau terjadi fraktur patologis pada tulang belakang, akan ada kelainan pada pengkajian inspeksi rongga dada. Palpasi : taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi : suara resonan pada selluruh lapang paru.
Auskultasi : suara napas hilang/ melemah pad sisi yang sakit, biasanya didapatkan suara ronkhi atau mengi.
·      B2 (Blood). Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering ditemukan keringat dingin dan pusing. Klien tumor dan keganasan sisstem musculoskeletal sering mengalami anemia yang berhubungan dengan proses peningkatan neovaskularisasi dan peningkatan kebutuhan darah untuk pembentukan jaringan baru.
·      B3(Brain). Kesadaran biasanya kompos mentis.pada kasus yang lebih parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah. Bila terdapat gejala gangguan neurologis pada klien, pemeriksaan neurologis perlu dilakukan secara cermat untuk menentukan apakah gangguan ini timbul karena penekanan tumor pada saraf tertentu.
*      Kepala dan wajah       : dilihat adanya sianosis
*      Mata                            : sclera biasanya tidak ikterik, konjungtiva anemis
*      Leher                           : biasanya JVP dalam batas normal.
·      B4 (Bladder). Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada system kardivaskuler.
·      B5 (Bowel). Pada kasus tumor dan keganasan, tidak ada gangguan eliminasi. Walaupun demikian, perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses. Pada eliminasi urin, dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlah urine. Klien biasanya mengalami mual, nyeri lambung, yang menyebabkan klien tidak nafsu makan.
·      B6 (Bone). Pada pengkajian biasnya dapat didapatkan tanda dan keluhan seperti :
*      Nyeri. Keluhan ini merupakan keluhan utama yang sering kali mendorong klien meminta pertolongan pada perawat dan dokter. Nyeri merupakan keluhan utama pada tumor ganas.
*      Keterbatasan gerak. Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri dan makin besarnya benjolan/ pembengkakan.
*      Pembesaran Jaringan. Klien mungkin menunjukkan bahwa salah satu bagian tubuhnya secara perlahan membesar. Penting memeriksa letak pembesaran, jumlah benjolan/ pembesaran jaringan, dan berapa diameter ukuran dari benjolan/ pembesaran jaringan tersebut.
*      Kelemahan fisik. Klien dengan keganasan pada tulang dan jaringan lunak yang lama biasanya mengalami kelemahan fisik, hal ini berkaitan dengan peningkatan metabolism yang digunakan oleh sel-sel tumor untuk melakukan proliferasi. Penting mengkaji sejauh mana kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
*      Tanda-tanda peradangan. Pada klien yang mengalami keganasan jaringan lunak, biasanya terdapat lesi sampai ulkus pada kulit sekitar jaringan yang mengalami pembengkakan atau benjolan.








DIAGNOSIS KEPERAWATAN
            Diagnosis keperawatan yang paling sering adalah sebagai berikut :
1.      Nyeri berhubungan dengan ekspansi tumor yang cepat dan penekanan ke jaringan sekitarnya, perdarahan, dan degenerasi.
2.      Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, nyeri pada gerakan akibat ekspansi tumor yang cepat dan penekanan ke jaringan sekitarnya, perdarahan, atau degerasi.
3.      Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakseimbangan asupan nutrisi dengan peningkatan kebutuhan yang berlebihan.
4.      Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan keterbatasan dan kelemahan ketahanan fisik, penurunan kemampuan pergerakkan.
5.      Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan peningkatan kerusakan pembuluh darah kapiler dan trauma jaringan lunak.
6.      Deficit perawatan diri yang berhubungan dengan kontraktur, keletihan, atau gangguan gerak.
7.      Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi.
8.      Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
9.      Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan gaya hidup atau perubahan peran yang actual atau dirasakan.
10.  Defisiensi pengetahuan dan informasi yang berhubungan dengan salah persepsi, kurang informasi.






RENCANA DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

            Sasaran utama klien dapat mencakup :
1.       Pemulihan nyeri serta gangguan rasa nyaman
2.      Pemenuhan nutrisi yang adekuat dan seimbang antara asupan dan kebutuhan nutrisi yang tinggi
3.      Penurunan resiko cedera agar tidak terjadi fraktur patologis.
4.      Meningkatkan pertumbuhan integritas kulit
5.      Pemulihan keadaan mudah lelah.
6.      Peningkatan mobilitas
7.      Pemeliharaan perawatan mandiri
8.      Perbaikan citra diri
9.      Peningkatan kondisi psikologis klien
10.  Pemenuhan informasi dan pengetahuan tentang prosedur perawatan dan penatalaksanaan.

Pemulihan Nyeri serta Gangguan Rasa Nyaman. Manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi serta sentuhan emosional lembut pada kulit sering memberikan dampak yang baik untuk mengurangi nyeri. Terapi farmakologis dapat digunakan untuk mengontrol nyeri dan meningkatkan kenyamanan klien. Perawat bekerja sama dengan klien dalam merancang program manajemen nyeri yang paling efektif sehingga meningkatkan pengontrolan klien terhadap nyeri. Perawat mempersiapkan klien dan member dukungan selama prosedur yang menyakitkan.
Pemenuhan Nutrisi Yang Adekuat dan Seimbang. Karena kehilangan selera makan akibat mual dan muntah sebagai efek samping kemoterapi dan radiasi, klien perlu diberikan nutrisi yang memadai untuk mempercepat penyembuhan dan kesehatan. Antiemetic dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal. Stomatitis dapat dikontrrol dengan obat kumur anestetik atau antijamur. Hidrasi yang memadai sangat penting. Suplemen nutrisi atau nutrisi parenteral total dapat diprogramkan untuk mendapatkan nutrisi yang memadai.
Penurunan Resiko Cedera Agar Tidak Terjadi Fraktur Patologis. Tumor tulang akan melemahkan tulang sampai ke titik ketika aktivitas normal atau perubahan posisi dapat mengakibatkan fraktur. Selama asuhan keperawatan, tulang yang sakit harus disangga dan ditangani dengan lembut. Penyangga luar dapat dipakai untuk perlindungan tambahan. Pembatasan beban berat badan yang dianjurkan harus diikuti. Klien diajarkan tentang bagaimana mempergunakan alat bantu dengan aman dan bagaimana memperkuat ekstermitas yang sehat.
Meningkatkan Pertumbuhan Integritas Kulit. Perawatan luka dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan integritas kulit. Biasanya luka/ lesi yang ada pada tumor dan keganasan pada jaringan lunak dikompres dengan gram fisiologis 2 hari sekali. Hal ini berguna untuk meningkatkan pertumbuhan integritas jaringan dan mengurangi bau yang keluar dari ulkus tersebut.
Penyembuhan luka dapat terlambat karena trauma jaringan akibat pembedahan atau radiasi sebelumnya. Tekanan pada daerah luka harus diminimalkan untuk memperbaiki peredaran darah ke jaringan. Balutan luka nontraumatik dan aseptic akan mempercepat penyembuhan. Pemantauan dan pelaporan temuan laboratorium memungkinkan pemberian intervensi untuk memperbaiki homeostatis dan penyembuhan luka.
Peningkatan Mobilitas. Mengubah posisi klien sesering mungkin akan mengurangi insiden kerusakan kulit akibat tekanan. Nyeri dan menghindari gerakan menunjukkan potensial terjadinya kerusakan kulit. Tempat tidur terapeutik khusus diperlukan utnuk mencegahkan kerusakan kulit dan memperbaiki penyembuhan luka setelah pembedahan plastic rekonstruktif dan grafting ekstensif.
Pemeliharaan Perawatan Mandiri. Alat dan sarana yang dibutuhkan klien perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan yang klien perlukan. Penting untuk mendorong/ meningkatkan dukungan psikologis klien agar klien dengan senang hati melakukan perawatan mandiri.
Perbaikan Citra Diri. Kemandirian versus ketergantungan merupakan isu pada klien yang menderita keganasan. Gaya hidup akan berubah secara dramatis, paling tidak sementara. Keluarga harus didukung dalam menjalankan penyesuaian yang harus dilakukan. Perubahan citra diri akibat pembedahan dan kemungkinan amputansi harus dilakukan. Perawatan diri dan sosialisasi harus didorong. Klien harus berpartisipasi dalam perencanaan aktivitas harian.
Peningkatan Kondisi Psikologis Klien. Klien dan keluarganya didorong untuk mengungkapkan rasa takut, keprihatinan, dan perasaan mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan perasaan diterima agar mereka mampu menerima dampak tumor tulang maligna. Perasaan terkejut putus asa, dan sedih pasti akan terjadi. Konsultasi dengan perawat psikiatri, ahli psikologi, konselor atau rohaniwan perlu diindikasikan untuk bantuan psikologis khusus.
Pemenuhan Informasi dan Pengetahuan Tentang Prosedur Perawatan dan Penatalaksanaan. Penyuluhan klien dan keluarganya mengenai proses dan diagnosis penyakit serta program penanganan sangat penting. Penjelasan mengenai pemeriksaan diagnosstik, dan prognosis dapat membantu klien menyesuaikan diri dengan prosedur dan perubahan yang terjadi.
Penyuluhan klien ditujukan pada pengobatan, pembalutan, dan program terapi, selain program terapi fisik dan okupasi. Pengguanaan peralatan khusus secara aman harus dijelaskan. Klien dan keluarga harus mempelajari tanda dan gejala kemungkinan komplikasi.

EVALUASI

Hasil akhir yang diharapkan pada asuhan keperawatan klien tumor dan keganasan pada system musculoskeletal adalah sebagai berikut :
1.      Nyeri berkurang atau terjadi perbaikan tingkat kenyamanan
2.      Terpenuhinya nutrisi yang adekuat
3.      Dapat dihindarinya risiko cedera agar tidak terjadi fraktur patologis.
4.      Meningkatkan pertumbuhan integritas kulit
5.      Tingkat keletihan berkurang
6.      Meningkatkan kualitas istirahat dan tidur
7.      Meningkatkan atau mempertahankan tingkat mobilitas
8.      Mempertahankan aktivitas perawatan mandiri
9.      Mengalami perbaikan citra diri
10.  Pemenuhan informasi dan pengetahuan tentang prosedur perawatan.























DAFTAR PUSTAKA
·      Muttaqin Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC
·      Bennett, J. Claude, and Fred Plum, eds. Cecil Textbook of Medicine. Philadelphia:W. B. Saunders Co., 1996.
·       Bennett, Robert M. “Bursitis, Tendinitis, Myofascial Pain, and Fibromyalgia.” In Conn’s Current Therapy. ed. Robert E. Rakel. Philadelphia:W. B. Saunders Co., 1996.
·       The Burton Goldberg Group. Alternative Medicine: The Definitive Guide. Fife,WA: Future Medicine Publishing, 1995.
·       Jacqueline L. Longe. The Gale Encyclopedia of Medicine Second Edition. 27500 Drake Road :Gale Group, 2002
·       http://qittun.blogspot.com/2008/10/asuhan-keperawatan-dengan-spondilitis.html




1 komentar:

  1. wahhh,, budi keren eunk postingnya ASKEP doank,,, LANJUTKAN lahhhhhh,,,,,,,,, siippp !

    BalasHapus